BERITAPARLEMEN.ID – JAKARTA – Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kontroversi setelah mengeluarkan pernyataan yang menyangsikan keberadaan bukti terkait pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Menyikapi hal tersebut, Komisi X DPR RI berencana memanggil Fadli untuk memberikan klarifikasi resmi.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menyatakan bahwa pihaknya merasa perlu mendapatkan penjelasan langsung dari Fadli. Menurutnya, menyebut pemerkosaan massal 1998 sebagai rumor adalah hal serius yang tak bisa dibiarkan tanpa klarifikasi.
“Komisi X akan menjadwalkan rapat kerja atau RDP dengan semua mitra kerja, termasuk Kementerian Kebudayaan, dalam Masa Sidang IV yang dimulai 24 Juni mendatang,” jelas Lalu kepada wartawan, Selasa (17/6/2025).
Ia menambahkan bahwa pernyataan Fadli sangat sensitif mengingat isu kekerasan seksual dalam sejarah Indonesia merupakan luka lama yang masih dirasakan korban dan masyarakat luas. Lalu menilai bahwa meragukan hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sama saja dengan melecehkan semangat penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
“Pernyataan yang mempertanyakan hasil kerja TGPF bisa merusak semangat rekonsiliasi nasional dan menyinggung perasaan para penyintas,” tegasnya.
Menurut Lalu, dokumen TGPF adalah dokumen resmi negara, bukan spekulasi belaka. Karena itu, pejabat publik semestinya tidak mengeluarkan opini pribadi yang bisa melemahkan perjuangan HAM dan pencarian kebenaran sejarah.
“Tragedi Mei 1998 harus tetap menjadi bagian dari narasi sejarah nasional kita. Ini penting untuk menjaga keadilan historis dan mencegah upaya penghapusan sejarah (historical denialism),” lanjutnya.
Anggota Fraksi PKB itu juga menegaskan bahwa pihaknya mendorong negara memperkuat komitmen dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi Mei 1998, melalui mekanisme yang berpihak pada korban, baik secara yudisial maupun non-yudisial.
“Kami punya tanggung jawab menjaga agar kebenaran sejarah tidak terdistorsi, serta memperjuangkan keadilan bagi para korban agar tragedi serupa tak terulang,” katanya.
Sebelumnya, pernyataan Fadli Zon dalam sebuah wawancara yang menyebut tidak ada bukti kuat soal pemerkosaan massal di Mei 1998 mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk aktivis HAM dan lembaga negara.
Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menyebut komentar tersebut menyakitkan bagi para penyintas. Ia menegaskan bahwa korban telah lama menanggung penderitaan dalam kesunyian, dan pernyataan tersebut justru memperpanjang impunitas terhadap pelaku.
“Korban sudah terlalu lama memikul luka secara diam-diam. Penyangkalan seperti ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperkuat budaya impunitas,” ujar Dahlia, Minggu (15/6).
Menanggapi kritik yang berdatangan, Fadli Zon akhirnya menyampaikan klarifikasinya. Ia mengapresiasi perhatian publik terhadap sejarah, khususnya era reformasi 1998. Menurut Fadli, peristiwa Mei 1998 memang menyisakan banyak perspektif dan polemik, termasuk soal klaim pemerkosaan massal.
Fadli mengungkapkan bahwa sejumlah laporan investigatif, termasuk dari media ternama saat itu, gagal membuktikan detail konkret soal pemerkosaan secara massal. Ia juga menyebut bahwa laporan TGPF hanya memuat angka-angka tanpa rincian valid terkait nama korban, lokasi, atau pelaku.
“Pernyataan saya tidak bermaksud menolak adanya korban atau penderitaan yang terjadi dalam tragedi tersebut. Saya justru mengecam segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik yang terjadi pada masa lalu maupun yang masih berlangsung hari ini,” ujarnya, Senin (16/6/2025).
Ia menambahkan bahwa kekerasan seksual adalah bentuk pelanggaran nilai kemanusiaan paling mendasar yang harus ditangani serius oleh semua pihak, termasuk negara.












