BERITAPARLEMEN.ID – Selama tahun 2024, berbagai kontroversi muncul terkait sejumlah undang-undang (UU) yang telah disahkan maupun masih dalam proses pembahasan oleh DPR RI. Beragam aturan ini memicu perdebatan di masyarakat, baik pada tahap diskusi hingga pelaksanaannya. Berikut beberapa UU yang menjadi perhatian sepanjang 2024:
1. RUU Pilkada tentang Batas Usia dan “Peringatan Darurat”
Revisi Undang-Undang Pilkada menjadi isu hangat di tahun 2024. Pembahasannya menimbulkan pro dan kontra di kalangan politisi, aktivis, akademisi, hingga masyarakat umum. Penolakan terhadap revisi ini bahkan memicu aksi unjuk rasa bertajuk “Peringatan Darurat” dan kampanye #KawalPutusanMK, baik di lapangan maupun di media sosial.
Ketegangan bermula saat DPR melalui Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon kepala daerah.
MK sebelumnya memutuskan bahwa usia minimal calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Namun, DPR memilih menggunakan acuan Mahkamah Agung (MA), yang menghitung usia sejak tanggal pelantikan.
Keputusan DPR membuka peluang bagi Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam Pilkada 2024, meskipun usianya belum memenuhi syarat menurut putusan MK.
Hal ini memicu penolakan dari berbagai pihak yang menilai langkah DPR sebagai upaya mengakali keputusan MK. DPR akhirnya membatalkan pengesahan RUU Pilkada setelah aksi protes yang meluas dan mulai rusuh.
2. RUU Penyiaran yang Dinilai Mengancam Kebebasan Pers
Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga menjadi sorotan. Draf yang beredar dianggap dapat mengancam kebebasan pers karena memuat pasal-pasal yang potensial menjadi pasal karet.
Lembaga seperti Dewan Pers, LBH Pers, dan AJI menolak RUU ini, terutama terkait kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik.
Dewan Pers mengingatkan bahwa penyelesaian sengketa pers seharusnya menjadi kewenangan mereka sesuai UU Pers. Sementara itu, AJI menilai RUU ini berpotensi menciptakan dualisme antara KPI dan Dewan Pers. Hingga kini, RUU Penyiaran masih belum disahkan, namun masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
3. UU Kementerian Negara yang Menghapus Batas Jumlah Kementerian
Revisi UU Kementerian Negara yang disahkan pada 20 September 2024 menghapus batas jumlah kementerian yang dapat dibentuk presiden. Sebelumnya, jumlah kementerian maksimal adalah 34.
Proses pembahasan yang terkesan tergesa-gesa ini memicu kritik dari sejumlah pakar hukum tata negara dan pengamat politik, yang menilai DPR mengabaikan partisipasi publik.
Pengamat politik menilai revisi UU ini dibahas cepat untuk mempersiapkan formasi kabinet pemerintahan mendatang, menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo.
4. UU Wantimpres dan Isu Nomenklatur Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
Revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) juga memicu polemik. Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah usulan perubahan nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan penambahan jumlah anggota Wantimpres tanpa batasan yang jelas.
Pakar hukum menilai langkah ini melanggar prinsip negara hukum yang mengharuskan adanya pembatasan kekuasaan. Namun, DPR akhirnya memutuskan untuk tidak mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA. Meski demikian, aturan ini tetap menuai kritik karena dinilai memberikan ruang diskresi yang terlalu besar kepada presiden.
5. Kenaikan PPN 12 Persen dan Penolakan Publik
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 2021 menjadi perhatian pada akhir 2024 menjelang penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 2025. Kenaikan ini memicu kekhawatiran publik akan meningkatnya harga barang dan jasa, yang dinilai bisa menurunkan daya beli masyarakat.
Penolakan terhadap kenaikan PPN ini ramai di media sosial dengan tagar seperti #TolakKenaikanPPN. Beberapa partai politik, termasuk PDIP, meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut, mengingat kondisi ekonomi masyarakat sedang tidak stabil.
Di sisi lain, pemerintah meminta publik memberi kesempatan untuk menerapkan kebijakan tersebut demi menjaga keberlanjutan fiskal nasional.